Minggu, 11 Agustus 2013

Kanker dan Antioksidan.

Kanker adalah suatu penyakit yang paling mengerikan dan manakutkan banyak orang.
Khususnya dibidang kedokteran sampai saat ini masih belum bisa mengatasi secara tuntas tentang penyakit ini, karena memang keterbatasan dari otak manusia.

Deskripsi medis pertama mengenai kanker ditemukan dalam sebuah manuskrip berbahasa Mesir yang ditulis pada tahun 2500 SM.
Transkripsi ini menyebutkan penemuan tonjolan yang tumbuh abnormal pada payudara.
Imhotep, dokter terkenal dari Mesir yang hidup sekitar tahun 2625 SM, mengajarkan bagaimana merasakan adanya tumor pada payudara melalui sentuhan tangan.

Kanker berasal dari Karkinos, yang dalam bahasa Yunani berarti kepiting.
Kata ini muncul pertama kali dalam literatur medis pada era Hippocrates sekitar tahun 400 M.
Penggambaran tumor dianggap menyerupai kepiting dengan cengkeraman kaki-kakinya dalam pasir.
Pada abad pertengahan, ahli bedah melakukan tindakan medis terhadap kanker dengan metode yang masih primitif.
Johannes Scultetus ( 1595 - 1645 ) menggambarkan mastektomi, operasi untuk mengangkat kanker payudara, dengan menggunakan api, cairan asam ( acid ), dan bahan kulit untuk membalut luka bedah.
Bagi penderita kanker keinginan untuk hidup bukanlah sebuah pilihan.
Ini merupakan misteri akan hasrat yang terdalam menuju kehidupan, yang tersembunyi dalam hati semua mahluk hidup.
Terkubur dalam di alam bawah sadar, keinginan ini membentuk perilaku insting, mempengaruhi pikiran-pikiran bawah sadar, dan bahkan fisiologi seseorang.
Keinginan untuk hidup bukanlah sesuatu yang dikondisikan.
Keinginan untuk hidup, disisi lain, sangatlah spesifik.
Keinginan untuk hidup itu lebih besar dari dirinya sendiri.
Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan bagaimana peranan antioksidan terhadap kanker.

Oksigen merupakan zat esensial untuk tubuh, yang membuat tubuh mampu menghasilkan energi dalam jumlah besar dari jumlah makanan yang terbatas.
Walau begitu, terkadang oksigen yang kita pakai berubah menjadi molekul reaktif yang tidak stabil, dan dapat berinteraksi dengan banyak cara.
Molekul-molekul ini kadang-kadang disebut oksidan, jenis oksigen yang reaktif, atau radikal bebas.
Senyawa-senyawa maupun reaksi kimia yang cenderung menghasilkan spesies oksigen reaktif ( spesies oksigen yang potensial toksik ) disebut pro - oksidan.

Radikal bebas adalah atom / molekul yang pada kulit terluarnya mengandung satu / lebih elektron tak berpasangan.
Tidak semua spesies oksigen reaktif adalah radikal bebas, misalnya H2O2 dan singlet oksigen bukan radikal bebas, tetapi termasuk spesies oksigen reaktif.
Karena adanya kecenderungan mengambil sebuah elektron ( e- ) dari senyawa-senyawa lain, maka spesies oksigen ini sangat reaktif.
Ada beberapa spesies oksigen reaktif yang dijumpai dalam tubuh, diantaranya :
Radikal bebas superoksida, hidroksil, alkoksil, peroksil, peroksida lipid, hidrogen peroksida, singlet oksigen, dan ion hipoklorit.
Asap rokok, polusi, NO2 dan Ozon ( O3 ) merupakan contoh oksidan eksternal yang masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi.
Setiap hembusan asap rokok sigaret mengandung 10 pangkat 14 radikal bebas dan 800 ppm Nitrogen Oksida ( NOx ) yang dapat bereaksi dengan peroksida sel radang membentuk oksiradikal lain yang sangat kuat.
Senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan, membersihkan ( scavenging ), menahan pembentukan ataupun meniadakan efek spesies oksigen reaktif disebut antioksidan.

Antioksidan-antioksidan ini diantaranya :
Vitamin A.
Vitamin ini dapat menguatkan dan mendukung terapi radiasi dan kemoterapi.
Vitamin A akan menginduksi program bunuh diri ( apoptosis ) pada sel-sel kanker dan diferensiasi sel.
Vitamin A dapat meningkatkan sistem imun menstimulasi aktivitas sel-sel pembunuh alamiah, dan menghambat pembentukan pembuluh darah baru pada tumor, sebuah proses yang disebut angiogenesis.
Sebaiknya memakai vitamin A dengan dosis yang tepat, sebab pada dosis yang tinggi, beberapa bentuk tertentu dari vitamin A justru dapat menstimulasi pertumbuhan beberapa jenis sel tumor serta memiliki efek toksik.
Carotenoid ( carotene, lutein, lycopene ) merupakan molekul yang dapat diubah menjadi vitamin A.
Karotenoid meningkatkan efek beberapa jenis kemoterapi seperti alkylating agents ( contohnya cytoxan ), terutama jika dikombinasikan dengan vitamin E.
Karotenoid merupakan antioksidan yang efektif yang perlu diwaspadai bersama, bahwa dalam dua penelitian besar, beta-karoten sintetik tampaknya justru meningkatkan kanker paru-paru pada perokok dan / atau pekerja asbes, sementara dalam satu studi terhadap non-perokok tidak ditemukan efek merugikan ini.
Hati-hati buat orang-orang dengan zat oksidatif yang tinggi ( contohnya aktivitas radikal bebas yang tinggi akibat merokok dan diet tinggi lemak ) akan bereaksi secara negatif terhadap suplemen beta-karoten tunggal.
Beta-karoten justru akan menjadi pro-oksidan dalam suasana stres oksidatif yang berat.
Sebaliknya, dampak pro-oksidan tampaknya akan menghilang dengan menghindari rokok, diet rendah lemak, dan penggunaan suplemen antioksidan yang lain seperti vitamin E, glutation, dan campuran berbagai karotenoid.

Makanan sumber vitamin A dan karotenoid yang dianjurkan adalah :
Susu dan produk susu, kuning telur, minyak ikan, sayuran berdaun hijau tua ( bayam, lobak, kubis ), wortel, mangga, pepaya, labu, kentang, dan ubi manis.

Vitamin C.
Dapat memperkuat dan mendukung efek kemoterapi dan radiasi, memerangi sel kanker, serta meningkatkan sistem imun tubuh dengan mengaktifkan sel-sel pembunuh alamiah.

Ada suatu temuan terbaru bahwa sel-sel kanker mengambil vitamin C dalam jumlah besar, hal ini justru akan menjelaskan laporan tentang efek membunuh selektif oleh vitamin C terhadap sel kanker, dimana sel-sel normal tetap hidup dan tampaknya terlindungi.
Vitamin C dapat bertindak sebagai agen anti-inflamasi ( anti radang ) dan analgesik ( anti nyeri ), yang membuat rasa sakit berkurang.
Pada uji coba klinis, pemberian kombinasi suplemen Vitamin C ( 500 mg ) dan vitamin E ( 400 mg ) selama pengobatan dengan tamoxifen pada wanita penderita kanker payudara dapat mengurangi level kolesterol dan risiko kadar trigliserida yang meningkat dalam darah akibat tamoxifen.
Tetapi ada laporan yang memperkirakan bahwa sel-sel leukemia ( sel-sel darah putih imatur ) dapat dirangsang pertumbuhannya oleh vitamin C.

Vitamin C dosis tinggi ( lebih dari 3000 mg ) juga dapat menyebabkan diare dan perut kembung, tetapi pengurangan dosis akan segera menghentikan gejala.
Hati-hati menggunakan vitamin C jika punya riwayat batu ginjal, penyakit kelebihan zat besi ( hemochromatosis ).

Pada penggunaan dosis tinggi vitamin C juga dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan oksidatif di dalam tubuh.

Vitamin E ( Tokoferol ) adalah antioksidan yang dapat mencegah kerja spesies oksigen reaktif.
Senyawa ini dapat mengatasi singlet oksigen, superoksida, dan radikal bebas peroksil.
Berguna untuk meningkatkan efek kemoterapi serta melindungi membran sel dan mitokondria melawan efek radikal bebas yang dapat merusak integritas sel.
Membantu memperbaiki fungsi sistem imun dan sistem saraf pusat.
Vitamin E dapat memberikan perlindungan terhadap setiap efek samping yang merugikan dari vitamin A dosis tinggi dan memelihara kelangsungan persediaan vitamin tersebut dengan cara meningkatkan potensi kerjanya.

Yang menjadi peringatan pada pemakaian vitamin E, dapat mengurangi agregasi platelet ( zat pembeku darah ) dan adhesi ( perlekatan platelet ke jaringan kolagen, yang berarti mengurangi efektivitas sistem pembekuan darah.
Bila dikombinasikan dengan obat anti-pembekuan darah ( obat pengencer darah ) seperti aspirin dan kaumadin, Vitamin E dengan dosis lebih dari 300 IU ( 1 mg = 1,5 IU ) per hari dapat menyebabkan hitungan jumlah platelet yang rendah dan berbahaya, yang dapat mengakibatkan perdarahan di dalam tubuh.
Setiap orang dengan hitung jenis platelet yang rendah selama menjalani kemoterapi seharusnya tidak diberi vitamin E melebihi 600 IU per hari.
Bagi penderita diabetes, penyakit jantung rematik, atau hipertiroid, pertahankan level vitamin E di bawah 600 IU per hari.
Bagi penderita tekanan darah tinggi, mulailah dengan dosis rendah ( tidak lebih dari 200 IU ) dan perlahan-lahan dapat ditingkatkan selama tekanan darah terkontrol.

Makanan sumber vitamin E yang dianjurkan :
Minyak biji gandum, sayuran berdaun, kacang-kacangan dan biji-bijian lainnya.

Mineral.
Disini mineral yang banyak digunakan diantaranya :
Selenium, sebagai antioksidan dan bahan yang esensial untuk sistem imun.
Pada dosis yang lebih tinggi, selenium dapat membantu menekan pembentukan dan penyebaran sel-sel tumor.
Efek dari berbagai jenis kemoterapi dapat mengakibatkan terjadinya defisiensi selenium, sehingga dibutuhkan penggantian dari luar.
Selenium bekerja sangat efektif, bila bergabung dengan vitamin E.
Namun, dosis yang tinggi dari mineral ini dapat membuat beberapa tumor menjadi lebih resisten terhadap kemoterapi, sehingga untuk hal ini dianjurkan dosis 200 mikrogram per hari sebagai dosis aman tertinggi.

Makanan sumber selenium yang dianjurkan :
Ikan ( sumber yang paling stabil ), biji-bijian dan sayuran-sayuran.

Zink.
Merupakan antioksidan cukup baik dan dapat mendukung metabolisme sel-sel normal, fungsi sistem imun, dan beroperasinya sistem saraf pusat.
Zat ini sering berkurang pada pasien penderita kanker.
Selain itu, ratio zink / tembaga sering rendah pada pasien kanker, yang dapat berperan dalam timbulnya peradangan dan pembentukan pembuluh darah baru, termasuk yang memberi makanan sel-sel tumor.
Zink dengan dosis tinggi diatas 100 mg / hari dapat menekan imunitas.
Dosis zink yang dianjurkan 30 -50 mg / hari.
Terlalu banyak zink dapat berakibat terhambatnya efek dari selenium.

Makanan sumber zink yang dianjurkan :
Produk hewan, kerang, sayuran hijau, kacang-kacangan dan sereal.

Magnesium.
Diperlukan untuk metabolisme sel ( merupakan komponen adenosine triphosphate, suatu substansi yang menyediakan energi untuk sel ).
Sangat penting untuk berfungsinya sistem imun.
Harus hati-hati ada laporan bahwa beberapa tumor dapat distimulasi oleh mineral magnesium ini.

Makanan sumber magnesium yang dianjurkan :
Sayuran hijau, sereal, dan kacang polong.

Dari hasil penelitian di Amerika Serikat, Dole dan Peto ( 1981 ) mengatakan sekitar sepertiga kanker yang diderita manusia disebabkan oleh pola konsumsi makanan.
Peran dari cara pengolahan makananpun menjadi penting.
Karena pengolahan makanan yang melibatkan suhu tinggi seperti menggoreng, dan membakar makanan berproten dan lemak tinggi, akan menghasilkan senyawa karsinogen.
Menggoreng yang dilakukan pada suhu minyak 180 derajat celsius, selama sekitar 10 menit.
Selama proses penggorengan, terjadi pengeluaran kandungan air dalam bahan pangan yang akan mengakibatkan terjadinya proses hidrolisis pada minyak goreng, sehingga minyak goreng semakin lama digunakan semakin tengik.
Yang menjadi permasalahan tidak hanya bau tengik yang mengganggu cita rasa makanan, tetapi selama terjadinya proses ketengikan, akan terbentuk senyawa-senyawa radikal bebas bersifat karsinogen.
Minyak goreng yang digunakan berkali-kali akan mengandung radikal bebas yang tinggi.
Sebaiknya menggoreng dilakukan dengan api kecil, dan minyak goreng jangan digunakan lebih dari dua kali.
Minyak goreng bekas yang warnanya berubah menjadi coklat kehitaman bersifat karsinogenik.

Peringatan bagi penderita jantung koroner, sebaiknya menggunakan minyak goreng yang sekali pakai, agar beban kerja jantung tidak bertambah berat.

Proses pengolahan makanan seperti pemanggangan makanan berprotein dan lemak tinggi ( pirolisis ), yaitu sate, hamburger, berbagai steak dan masakan cina yang menumis daging atau ikan pada suhu tinggi untuk dijadikan kaldu, banyak mengandung asam amino terpirolisis yang membentuk heterocyclic amine ( HAs ), suatu mutagen kuat.
Konsumsi lemak tinggi juga akan meningkatkan steriel dalam usus besar dan meningkatkan sekresi garam empedu, yang selanjutnya akan dimetabolis oleh bakteri usus menghasilkan senyawa karsinogenik.

Tubuh manusia memiliki mekanisme pertahanan terhadap pengaruh destruktif radikal bebas dengan tetap menjaga keseimbangan antara pro-oksidan dan anti-oksidannya.
Namun pada keadaan tertentu dimana terjadi pergeseran keseimbangan ke arah pro-oksidan, maka akan timbul kelainan-kelaian patologis seperti keganasan, inflamasi, aterosklerosis, penuaan, iskemi, hemolisis dan seterusnya dan sebagainya.
Terima kasih, Tuhan memberkati.

Kamis, 08 Agustus 2013

Berbeda jangan paksakan untuk jadi sama.( Tak baik mengekor terus ).

Pada awalnya manusia dibelahan bumi ini dibentuk dengan warna kulit ( ras ) yang berbeda, budaya, makanan, perilaku dan seterusnya, memang berbeda.
Malah setelah perang dunia ke II, UNESCO mengeluarkan pernyataan resmi tentang tiga identifikasi ras yang dimuat dalam The Race Question ( 1950 ).
Ke tiga ras tersebut adalah Mongoloid, Negroid, dan Kaukasoid.
Penggolongan ini sebelumnya dilakukan oleh para pakar taksonomi berdasarkan warna kulit.
Jadi bila dari orang yang berlainan ras menderita suatu penyakit yang sama, belum tentu timbul gejalanya yang sama pula ( bisa berlainan ), dan dosis untuk pengobatannyapun akan berbeda ( tidak selalu disamakan ), pada dasarnya semuanya memang berbeda.
Sebagai contoh soal :
Orang yang menderita penyakit jantung, di Indonesia gejalanya sering disebut orang " Angin duduk " ( serangan jantung ), karena gejala seperti ini yang paling sering dijumpai di masyarakat kita dikala terjadi serangan jantung.
Di Indonesia, serangan jantung gejalanya tidak khas tak seperti di Barat, yaitu nyeri di bagian dada yang menjalar ke lengan dan kemudian ke leher.
Di Indonesia kebanyakan tanda yang muncul adalah sakit di ulu hati, kembung, dan seperti sedang masuk angin, konon orang awam mengatakan.
Ini menunjukkan bahwa ketika orang-orang yang merasa dirinya masuk angin diperiksa, 30 % dari mereka sebenarnya tidak sedang masuk angin, melainkan terkena serangan jantung koroner.
Karena yang tertutup / menyempit adalah pembuluh darah LAD ( Left Anterior Descending ) yang menuju ke depan dan ke bawah jantung, sehingga kelihatan seperti sakit lambung ( maag ) dan masuk angin.

Contoh lain untuk pengobatan Tuberkulosis.
Kadar terapeutik obat tuberkulosis untuk pasien Indonesia tidak perlu setinggi pasien Kaukasia ( Barat ).
Pemberian Rifampisin, obat utama tuberkulosis, dibawah ambang terapeutik tetap menyembuhkan sebagian besar penderita di Indonesia.
Dari hasil penelitian menyebutkan, tidak ada hubungan bermakna antara konsentrasi rifampisin dan respon pengobatan.
Konsentrasi rifampisin pada darah orang Indonesia tidak perlu setinggi orang Barat yang diatas 8 mg / l.
Dengan kadar dibawah kombinasi dosis standar, pasien Indonesia tetap sembuh.
Jenis kuman TB di Indonesia berbeda dengan di Asia Tenggara lainnya, yang umumnya galur Beijing yang bersifat ganas dan cenderung resisten.
Di Indonesia, kuman yang beredar adalah galur non- Beijing.
Untuk memastikan konsentrasi dan dosis obat yang sesuai untuk penduduk Indonesia harus dilakukan penelitian lebih lanjut.
Pemberian dosis obat yang terlalu tinggi juga akan mengakibatkan keracunan pada hati, yang ditandai dengan kenaikan bilirubin, mual, dan muntah.
Karena efek samping berat, banyak pasien berhenti minum obat.
Akibatnya kuman TB bermutasi menjadi resisten, sehingga obat-obat yang dikonsumsi tidak manjur.
Laporan dari organisasi kesehatan dunia ( WHO ) 2011 mengatakan, Indonesia berada diperingkat ke empat untuk beban penyakit TB, setelah India, China, dan Afrika Selatan, dengan angka kematian 27 per 100.000 penduduk.

Contoh yang lainnya lagi dalam hal pemakaian vitamin C.
Pemakaian vitamin C bila disesuaikan dengan tubuh orang Indonesia dosis 500 mg sampai 1000 mg itu sudah dianggap melebihi takaran.
Beberapa ahli tidak menganjurkan pemakaian jenis vitamin dan mineral dalam jumlah megadosis ( dosis besar ) atau lebih dari 100 % kecukupan gizi yang dianjurkan RDA ( Recommended Dietary Allowances ) karena justru dapat menimbulkan efek sampingan yang tidak diinginkan.
Dosis yang wajar untuk konsumsi vitamin C 225 - 280 mg/ hari.
Jika meminum vitamin C secara berlebihan ( diatas 500 mg per hari ) dapat menimbulkan efek negatif, terutama yang berisiko menderita kelebihan zat besi ( hemochromatosis ), karena dengan kadar yang tinggi dapat mengakibatkan kerusakan oksidatif didalam tubuh.
Bagi yang mempunyai batu ginjal atau riwayat batu ginjal atau penyakit ginjal lainnya atau sedang dalam pengobatan hemodialisis ( cuci darah ) pemakaian vitamin C harus hati-hati.
Vitamin C juga berpengaruh pada penyerapan obat ( dapat meningkatkan absorbsi obat ).
Hal ini pertama kali diteliti oleh Edgar dan Bailey pada obat-obat : nifedipin, felodipin, terfenadin, eritromisin dan lain-lain.
Jadi harus hati-hati bagi penderita hipertensi yang meminum obat-obatan antagonis kalsium dan antibiotika jenis eritromisin, karena bila dicampur dengan vitamin C dapat meningkat daya absorbsi obatnya.

Contoh berikutnya :
Takaran dosis untuk orang Indonesia dianggap terlalu tinggi dalam penggunaan obat tidur dan antidepresi.
Sebab dari penelitian respons obat tidur dan antidepresi terhadap lima kelompok etnis terbesar di Indonesia seperti Melayu, Sunda, Jawa, Bugis dan Benoaq Dayak menunjukkan tingkat respons buruk terhadap obat itu tergolong tinggi.
Reaksi enzim CYP2C19 yang mencerna atau memetabolisme obat tidur diazepam, antidepresi, dan obat sakit maag.
Bila seseorang memiliki tipe gen buruk yang enzimnya tidak mampu atau tidak baik dalam metabolisme obat-obatan itu, maka obat itu akan menumpuk dalam darah atau tubuh hingga bersifat toksik.
Normalnya, obat akan habis dimetabolisme tubuh dalam waktu delapan jam.
Penggunaan obat tidur akan berdampak buruk dan fatal bagi orang Indonesia.
Pasien dengan tingkat metabolisme buruk bila mendapat dosis yang standar bagi kelompok dengan respons normal akan tidur dalam jangka waktu lebih lama.
Bila obat tidur ini memberikan respons negatif bagi etnis Timur atau bangsa Asia, kondisi sebaliknya terjadi untuk obat Antibiotika yang dimetabolisme oleh enzim CYP2D6.
Obat antibiotik memiliki respons negatif lebih besar pada etnis Barat.
Hal ini terkait juga dengan pengaruh lingkungan, termasuk pola makan dan minum kelompok etnis tersebut.
Perusahaan farmasi Amerika Serikat dan Eropa, selama ini melakukan uji klinik respons obat yang dibuat terhadap manusia terbatas di negaranya.
Padahal, populasi yang memiliki metabolisme buruk terhadap reaksi obat tertentu pada kelompok etnis di negeri Barat hanya dua persen.
Oleh karena itu, penggunaan produk obat dari negara ini akan berdampak buruk bagi etnis di kawasan lain, yang persentase populasi metabolisme buruknya lebih besar.
Penelitiannya menyebutkan, semakin ke Timur metabolisme buruk kelompok etnis dunia semakin besar.
Di Indonesia, metabolisme buruk berkisar 20 hingga 48 persen.
Penemuan tentang farmakogenomik ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan perusahaan farmasi untuk obat-obatan yang dipasarkan di Indonesia, agar dosis pemberian disesuaikan dengan metabolisme tubuh orang Indonesia.
Dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa semacam ini, kalau ditulis semua contoh-contohnya blog ini bisa penuh.

Jadi pada dasarnya memang berbeda, lain orang Eropa lain pula orang Asia, begitu juga dengan orang Afrika.
Sebaiknya kita harus mempunyai standar sendiri dalam menentukan gejala penyakit maupun dosis pengobatannya disesuaikan dengan metabolisme tubuh dan keadaan lingkungan yang mendukungnya.
Tentu dengan melakukan penelitian sendiri, supaya kita tidak dibilang cuma pintar mengekor saja.
Terima kasih, Tuhan memberkati.