Dari pagi hari sampai malam hari suara bising kendaraan bermotor, terutama di kota-kota besar tak ada henti-hentinya, bahkan sampai-sampai knalpot dibikin supaya suaranya sekeras mungkin.
Suara bising dimana-mana, telinga pun menjadi menderita.
Kita bisa mengatakan bising atau tidak, tentunya jika kita mempunyai telinga dan telinga itu masih dapat berfungsi untuk mendengarkan bunyi.
Telinga memang mempunai peran penting, orang-orang Mesir kuno, misalnya, menganggap telinga sebagai pemegang napas kehidupan.
Mereka percaya bahwa " udara kehidupan " memasuki telinga kanan, sedangkan " udara kematian " masuk ke telinga kiri.
Dan orang-orang Mesir, seperti halnya pada kebanyakan orang kebudayaan kuno lainnya, menindik telinga mereka karena percaya bahwa logam bisa menahan roh-roh jahat menyerang tubuh.
Berabad-abad kemudian, para pelaut menindik telinga mereka karena mengira itu dapat meningkatkan penglihatan mereka.
Sampai sekarang titik yang berlokasi tepat di tempat tindik ( anting ) dipercaya di kalangan ahli akupunktur sebagai titik untuk mata ( Eye Point ).
Telinga dan kebisingan keduanya tidak dapat dipisahkan, suara bising / cempreng yang memekakkan telinga itu cukup mendominasi bising jalanan.
Jika diukur dengan alat pengukur dB meter, tingkat suara bajaj saja 82 -89 desibel, motor roda dua dengan knalpot yang sudah mengalami modifikasi bisa mencapai 93 - 95 desibel.
Diperempatan Slipi petamburan misalnya, dalam catatan aplikasi pengukur selama tiga puluh menit tidak pernah berada dibawah angka 90 dB.
Bahkan, saat suara dari knalpot, mesin, dan klakson puluhan kendaraan terdengar bersamaan, angka yang tercatat mencapai 103 dB.
Kurang 17 tingkat menyamai deru pesawat saat lepas landas ( 120 - 130 dB ) yang lama durasi pajanannya tidak boleh lebih dari 15 menit.
Angka-angka ini hampir sama dengan catatan intensitas suara disekitar jalan MH Thamrin, seperti di Bundaran Hotel Indonesia yang menunjukkan angka 91 - 102 dB.
Kebisingan memiliki dampak psikologis, seperti tidak tenang, mudah marah, kurang konsentrasi dan sensitif.
Selain itu kebisingan juga menyebabkan gangguan pendengaran ringan sampai tuli permanen.
Tingkat kebisingan di jalan raya dalam batas wajar berada di angka 70 - 80 dB.
Jika ambang batas dan waktu pajanan terlampaui, akan terjadi kelelahan pada alat pendengar, rambut getar penerima suara akan capek, rusak, dan tidak dapat kembali lagi.
Perlu juga untuk diingatkan, mendengar musik melalui earphone dalam jangka lama dapat merusak pendengaran ( misalnya sambil naik motor, sambil jalan dengan telinga dipasang earphone dan berbagai kegiatan lainnya ).
Harus sesekali dilepas.
Survei kesehatan indra di tujuh provinsi pada tahun 1994 - 1996 lalu menemukan sekitar 16,8 persen penduduk Indonesia menderita gangguan pendengaran.
Dari sekitar 4 juta penduduk Indonesia yang tidak dapat mendengar dengan baik tersebut, sebanyak 12.000 orang ( 0,3 persen ) tidak dapat mendengar karena terpapar kebisingan.
Oleh karena itu hendaknya tingkat kebisingan di kota-kota besar perlu disikapi dengan serius supaya tidak menimbulkan masalah yang lebih serius pula.
Terima kasih, Tuhan memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar