Kamis, 05 Mei 2016

Pola makan berubah penyakit pun tiba.

Informasi yang salah akan menjadi petaka, informasi yang benar akan mendatangkan berkat.
Kekeliruan kebijakan yang diambil pemerintah pada masa lalu, hasilnya akan dituai sekarang.
Dulu ada stigmatisasi bahwa orang yang makan nasi lebih pintar.
Jadi orang yang minim pengetahuan serta cetek penalaran dan pemahaman berbondong-bondong beralih dari makanan aslinya ke yang namanya beras atau kalau sudah dimasak namanya nasi ( bahasa Jawa : Sego ).
Nasi atau sego memang menjadi makanan pokok orang Indonesia khususnya, hampir 80% makan nasi.
Dengan beralihnya makanan asli masyarakat setempat , kita ambil salah satu contoh saja masyarakat di kepulauan Mentawai, Sumatera Barat dari sagu dan keladi ke nasi sebagai makanan pokoknya.
Ternyata akan mempengaruhi daya tahan tubuh terhadap penyakit yang ada di masyarakat tersebut.
Banyak ditemukan penyakit tidak menular, seperti sindrom metabolis dan diabetes melitus.
Penyakit-penyakit non infeksi ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup, terutama karena perubahan pola makan.
Perubahan pola konsumsi akan mempengaruhi mikroflora dan mikroba usus, akhirnya mempengaruhi ketahanan tubuh terhadap penyakit.

Ditemukan kaitan variasi basa T16189C pada DNA ( asam deoksiribonukleat ) mitokondria dengan risiko diabetes melitus.
Makin tinggi T16189C -nya, makin tinggi pula risiko diabetesnya.
Warga Indonesia rata-rata punya kadar basa T16189 C diatas 30 - 40 persen dengan Nias 60 persen atau yang tertinggi.
Disamping rawan terkena diabetes, masyarakat juga rawan mengalami hipertensi.
Masyarakat yang menderita diabetes dan hipertensi ini umumnya yang sudah beralih dari makanan asalnya ke beras atau nasi.
Masyarakat yang dulu biasa makan sagu membutuhkan konsumsi nasi jauh lebih banyak agar bisa kenyang.
Sagu memiliki Indeks Glikemik ( IG ) rendah, sehingga lama dicerna dibandingkan dengan nasi.
Indeks Glikemik ( IG ) nasi yang sangat tinggi cepat meningkatkan kadar gula darah dan tidak baik bagi penderita diabetes.
Indeks Glikemik nasi diatas 70 persen, tergolong tinggi.
Sementara sagu hanya sekitar 20 persen dan talas sekitar 50 persen.
Pada intinya jangan hanya mengonsumsi nasi, tetapi juga perlu ada kombinasi dan keragaman pangan, terutama makanan tradisional.
Kombinasi pangan ke makanan lain juga akan membantu ketahanan pangan masyarakat.
Terima kasih, Tuhan memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar