Kamis, 08 Agustus 2013

Berbeda jangan paksakan untuk jadi sama.( Tak baik mengekor terus ).

Pada awalnya manusia dibelahan bumi ini dibentuk dengan warna kulit ( ras ) yang berbeda, budaya, makanan, perilaku dan seterusnya, memang berbeda.
Malah setelah perang dunia ke II, UNESCO mengeluarkan pernyataan resmi tentang tiga identifikasi ras yang dimuat dalam The Race Question ( 1950 ).
Ke tiga ras tersebut adalah Mongoloid, Negroid, dan Kaukasoid.
Penggolongan ini sebelumnya dilakukan oleh para pakar taksonomi berdasarkan warna kulit.
Jadi bila dari orang yang berlainan ras menderita suatu penyakit yang sama, belum tentu timbul gejalanya yang sama pula ( bisa berlainan ), dan dosis untuk pengobatannyapun akan berbeda ( tidak selalu disamakan ), pada dasarnya semuanya memang berbeda.
Sebagai contoh soal :
Orang yang menderita penyakit jantung, di Indonesia gejalanya sering disebut orang " Angin duduk " ( serangan jantung ), karena gejala seperti ini yang paling sering dijumpai di masyarakat kita dikala terjadi serangan jantung.
Di Indonesia, serangan jantung gejalanya tidak khas tak seperti di Barat, yaitu nyeri di bagian dada yang menjalar ke lengan dan kemudian ke leher.
Di Indonesia kebanyakan tanda yang muncul adalah sakit di ulu hati, kembung, dan seperti sedang masuk angin, konon orang awam mengatakan.
Ini menunjukkan bahwa ketika orang-orang yang merasa dirinya masuk angin diperiksa, 30 % dari mereka sebenarnya tidak sedang masuk angin, melainkan terkena serangan jantung koroner.
Karena yang tertutup / menyempit adalah pembuluh darah LAD ( Left Anterior Descending ) yang menuju ke depan dan ke bawah jantung, sehingga kelihatan seperti sakit lambung ( maag ) dan masuk angin.

Contoh lain untuk pengobatan Tuberkulosis.
Kadar terapeutik obat tuberkulosis untuk pasien Indonesia tidak perlu setinggi pasien Kaukasia ( Barat ).
Pemberian Rifampisin, obat utama tuberkulosis, dibawah ambang terapeutik tetap menyembuhkan sebagian besar penderita di Indonesia.
Dari hasil penelitian menyebutkan, tidak ada hubungan bermakna antara konsentrasi rifampisin dan respon pengobatan.
Konsentrasi rifampisin pada darah orang Indonesia tidak perlu setinggi orang Barat yang diatas 8 mg / l.
Dengan kadar dibawah kombinasi dosis standar, pasien Indonesia tetap sembuh.
Jenis kuman TB di Indonesia berbeda dengan di Asia Tenggara lainnya, yang umumnya galur Beijing yang bersifat ganas dan cenderung resisten.
Di Indonesia, kuman yang beredar adalah galur non- Beijing.
Untuk memastikan konsentrasi dan dosis obat yang sesuai untuk penduduk Indonesia harus dilakukan penelitian lebih lanjut.
Pemberian dosis obat yang terlalu tinggi juga akan mengakibatkan keracunan pada hati, yang ditandai dengan kenaikan bilirubin, mual, dan muntah.
Karena efek samping berat, banyak pasien berhenti minum obat.
Akibatnya kuman TB bermutasi menjadi resisten, sehingga obat-obat yang dikonsumsi tidak manjur.
Laporan dari organisasi kesehatan dunia ( WHO ) 2011 mengatakan, Indonesia berada diperingkat ke empat untuk beban penyakit TB, setelah India, China, dan Afrika Selatan, dengan angka kematian 27 per 100.000 penduduk.

Contoh yang lainnya lagi dalam hal pemakaian vitamin C.
Pemakaian vitamin C bila disesuaikan dengan tubuh orang Indonesia dosis 500 mg sampai 1000 mg itu sudah dianggap melebihi takaran.
Beberapa ahli tidak menganjurkan pemakaian jenis vitamin dan mineral dalam jumlah megadosis ( dosis besar ) atau lebih dari 100 % kecukupan gizi yang dianjurkan RDA ( Recommended Dietary Allowances ) karena justru dapat menimbulkan efek sampingan yang tidak diinginkan.
Dosis yang wajar untuk konsumsi vitamin C 225 - 280 mg/ hari.
Jika meminum vitamin C secara berlebihan ( diatas 500 mg per hari ) dapat menimbulkan efek negatif, terutama yang berisiko menderita kelebihan zat besi ( hemochromatosis ), karena dengan kadar yang tinggi dapat mengakibatkan kerusakan oksidatif didalam tubuh.
Bagi yang mempunyai batu ginjal atau riwayat batu ginjal atau penyakit ginjal lainnya atau sedang dalam pengobatan hemodialisis ( cuci darah ) pemakaian vitamin C harus hati-hati.
Vitamin C juga berpengaruh pada penyerapan obat ( dapat meningkatkan absorbsi obat ).
Hal ini pertama kali diteliti oleh Edgar dan Bailey pada obat-obat : nifedipin, felodipin, terfenadin, eritromisin dan lain-lain.
Jadi harus hati-hati bagi penderita hipertensi yang meminum obat-obatan antagonis kalsium dan antibiotika jenis eritromisin, karena bila dicampur dengan vitamin C dapat meningkat daya absorbsi obatnya.

Contoh berikutnya :
Takaran dosis untuk orang Indonesia dianggap terlalu tinggi dalam penggunaan obat tidur dan antidepresi.
Sebab dari penelitian respons obat tidur dan antidepresi terhadap lima kelompok etnis terbesar di Indonesia seperti Melayu, Sunda, Jawa, Bugis dan Benoaq Dayak menunjukkan tingkat respons buruk terhadap obat itu tergolong tinggi.
Reaksi enzim CYP2C19 yang mencerna atau memetabolisme obat tidur diazepam, antidepresi, dan obat sakit maag.
Bila seseorang memiliki tipe gen buruk yang enzimnya tidak mampu atau tidak baik dalam metabolisme obat-obatan itu, maka obat itu akan menumpuk dalam darah atau tubuh hingga bersifat toksik.
Normalnya, obat akan habis dimetabolisme tubuh dalam waktu delapan jam.
Penggunaan obat tidur akan berdampak buruk dan fatal bagi orang Indonesia.
Pasien dengan tingkat metabolisme buruk bila mendapat dosis yang standar bagi kelompok dengan respons normal akan tidur dalam jangka waktu lebih lama.
Bila obat tidur ini memberikan respons negatif bagi etnis Timur atau bangsa Asia, kondisi sebaliknya terjadi untuk obat Antibiotika yang dimetabolisme oleh enzim CYP2D6.
Obat antibiotik memiliki respons negatif lebih besar pada etnis Barat.
Hal ini terkait juga dengan pengaruh lingkungan, termasuk pola makan dan minum kelompok etnis tersebut.
Perusahaan farmasi Amerika Serikat dan Eropa, selama ini melakukan uji klinik respons obat yang dibuat terhadap manusia terbatas di negaranya.
Padahal, populasi yang memiliki metabolisme buruk terhadap reaksi obat tertentu pada kelompok etnis di negeri Barat hanya dua persen.
Oleh karena itu, penggunaan produk obat dari negara ini akan berdampak buruk bagi etnis di kawasan lain, yang persentase populasi metabolisme buruknya lebih besar.
Penelitiannya menyebutkan, semakin ke Timur metabolisme buruk kelompok etnis dunia semakin besar.
Di Indonesia, metabolisme buruk berkisar 20 hingga 48 persen.
Penemuan tentang farmakogenomik ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan perusahaan farmasi untuk obat-obatan yang dipasarkan di Indonesia, agar dosis pemberian disesuaikan dengan metabolisme tubuh orang Indonesia.
Dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa semacam ini, kalau ditulis semua contoh-contohnya blog ini bisa penuh.

Jadi pada dasarnya memang berbeda, lain orang Eropa lain pula orang Asia, begitu juga dengan orang Afrika.
Sebaiknya kita harus mempunyai standar sendiri dalam menentukan gejala penyakit maupun dosis pengobatannya disesuaikan dengan metabolisme tubuh dan keadaan lingkungan yang mendukungnya.
Tentu dengan melakukan penelitian sendiri, supaya kita tidak dibilang cuma pintar mengekor saja.
Terima kasih, Tuhan memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar