Selasa, 24 April 2012

Keterkaitan antara membaca dengan agresivitas.

Dan hanya ada satu tempat penyampaian ilmu pengetahuan, membagi informasi sampai menyuarakan kebenaran, tanpa takut lenyap diterjang badai atau terbawa angin yang berembus.
Bukulah sebagai sebuah prasasti, tempat kata-kata menjejakkan maknanya.
Sebuah tempat harta yang paling berharga.
Tetapi ada sisi lain dari seorang penggila buku alias kutu buku yang masih sering dipandang aneh oleh beberapa orang.
Mikkel Birkegaard pernah mengatakan hanya orang-orang yang terpilih yang lebih memilih hidup diantara tumpukan buku.
Gambaran demikian betapa pentingnya makna dari sebuah buku itu.
Dengan membaca buku berarti menghormati Sang Pencipta.
Kemampuan membaca dan mencintai buku sebaiknya dilakukan di usia sedini mungkin.

Selama kurun waktu 6 tahun ( 1996 - 2002 ), Sarah Miles dan Deborah Stipek dari Stanford University California, Amerika Serikat, meneliti dan mengikuti perkembangan 400 anak Tk dan SD diwilayah kota miskin di Amerika Serikat.
Tentang adanya keterkaitan antara tingkat kemampuan membaca dan tingkat agresivitas seorang anak.
Dalam penelitian sikap agresif dibatasi dalam empat golongan, " suka berkelahi ", " tidak sabaran ", " suka mengganggu ", dan " kebiasaan menekan anak lain ( bullying ) "
" Anak - anak kelas 1 SD, yang kemampuan membacanya relatif rendah, saat di kelas 3, cenderung memiliki tingkat agresivitas tinggi.
Dan anak-anak kelas 3, yang memiliki kemampuan membaca rendah, cenderung memiliki sikap agresif tinggi saat di kelas 5 ".
Begitu pengungkapan Miles dan Stipek dalam penelitiannya.
Hal seperti ini terjadi mungkin bersamaan dengan tingkat pergaulan mereka, anak - anak yang kemampuan membacanya rendah itu frustasinya semakin menumpuk.
Keadaan ini yang membuat mereka menjadi agresif.
Sebaliknya, ada keterkaitan antara sikap sosial dan kemampuan membaca.
Yang dimaksud sikap sosial adalah " suka menolong ", " mengasihi sesama ", " mengerti perasaan orang lain ", " punya empati ", " punya perhatian kepada yang susah " dan " menolong / menghibur teman yang kecewa ".
Anak-anak yang memiliki sikap sosial yang baik saat di Tk dan kelas 1 SD biasanya lebih mampu mengembangkan kemampuan membacanya di kelas 3 dan kelas 5 SD, begitulah kesimpulan penelitian Miles dan Stipek.
Dari hasil penelitian menunjukkan betapa pentingnya pendidikan dan pengajaran yang efektif dalam kemampuan membaca pada jenjang-jenjang permulaan SD.
Anak-anak yang kemampuan membacanya rendah perlu diberi perhatian penuh melalui bantuan pribadi atau sistem pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak.

Penelitian membaca ini dilakukan terhadap anak usia permulaan sekolah Tk sampai SD dan kemampuan membaca ini juga dilakukan terhadap anak usia 20 - 22 tahun.
Ternyata hasilnya kurang lebih sama, bila si anak dari usia permulaan sekolah sudah lemah dalam hal membaca, maka mereka juga kurang dalam memahami satu atau beberapa informasi pada buku teks yang tersedia.
Kemampuan menafsirkan, menilai, atau menghubungkan isi teks dengan situasi diluar sangat terbatas pada pengalaman hidup secara umum.
Akibatnya, mereka akan sulit memakai kemampuan membaca untuk memperluas pengetahuan dan keterampilan di bidang lain.
Dampak dari keadaan ini, muncul dua hal :
1. Mereka mungkin baru mampu menyelesaikan pendidikannya pada usia yang lebih tua.
2. Jika pada usia itu sudah bekerja, besar kemungkinan akan tersisih dalam persaingan di lapangan pekerjaan.

Keadaan semacam ini akan mudah menyebabkan harga diri si anak akan turun dan memicunya untuk memusuhi masyarakat dan lingkungan sekitar ( Rutter dan Giller, 1983 ).
Situasi kejiwaan semacam inilah yang mudah meningkatkan sikap agresif ( Malden, Blackwell, dan Pitkanen, 1969).
Sejak dasawarsa tahun 1990-an, konsep tentang kemampuan membaca sudah banyak berubah.
Sekarang, kemampuan membaca dipandang sebagai sebuah proses konstruksi dan interaksi.
Pembaca adalah orang yang aktif membangun makna, memahami strategi membaca yang efektif dan mengetahui bagaimana merefleksikan bahan bacaan ( Langer, 1995 ; Clay, 1991 ).
Setidaknya ada tiga aspek dalam kemampuan membaca, yaitu aspek " proses memahami ", " tujuan membaca ", dan " sikap dalam membaca ".
Dari sini yang ditekankan tidak lagi " belajar membaca ", melainkan " membaca untuk belajar ( hidup ) ".
Sebaiknya gerakan membaca hendaknya dimulai dan dipelihara sejak dini, berangkat dari rumah, perpustakaan, sekolah, dan lingkungan media.
Untuk idealnya, para orang tua sebaiknya membacakan bacaan kepada anaknya sejak di kandungan sampai Tk.
Dalam penelitian terbaru seorang anak bisa mendapat 4000 - 12000 kosokata baru dalam setahun melalui buku-buku yang dibacakan orang tuanya.
Sebab 50 persen buku bacaan buat anak-anak mengandung lebih banyak jumlah kata-kata baru ketimbang dengan hanya melihat acara televisi khususnya film anak-anak dan tayangan percakapan orang dewasa.
Karena begitu pentingnya keperluan untuk membaca Asosiasi membaca internasional ( 1999 ) menyarankan, jumlah ideal buku diperpustakaan sekolah adalah 20 kali jumlah murid.
Untuk perpustakaan di kelas, idealnya ada tujuh buku untuk tiap murid.
Dengan membangun budaya membaca, mudah-mudahan akan mengurangi sifat agresif, arogan dan destruktif manusia penerus dimasa mendatang.
Terima kasih, Tuhan memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar