Kamis, 16 Februari 2012

Melankolis, si pencabut nyawa sendiri.

Urusan mati memang ada di tangan Tuhan, tetapi lain lagi dengan anekdot yang mengatakan nasib maling ada ditangan hansip.
Umur manusia yang menentukan seharusnya hanya Tuhan, tetapi bagi orang tertentu kematian bisa ditentukan oleh orang itu sendiri alias dirinya sendiri.
Tetapi anehnya tidak semua orang berani mencabut nyawanya sendiri.
Hanya orang-orang tertentu dengan karakter dan alasan tertentu yang tidak gentar apalagi gemetar untuk melakukannya.
Banyaknya tekanan hidup ditengarai dapat mendorong seseorang ke arah sana.
Didalam riwayat keluarga ada yang pernah berusaha bunuh diri atau melakukan tindakan yang bisa membahayakan orang lain, mengalami kekerasan fisik atau seksual, kematian orang dekat atau anggota keluarga, perceraian, perpisahan atau putusnya suatu hubungan ( pacar ), tidak tercapainya prestasi akademis, kehilangan pekerjaan atau masalah dalam pekerjaan, mendapatkan hukuman penjara, terkena tipu orang lain, bisnis yang bangkrut total, orang yang kaya raya tiba-tiba jadi miskin dan seterusnya.
Tindakan tragis dipilih sebagai jalan keluar dari masalah yang sedang dihadapi.

Menurut hasil penelitian ada beberapa ciri yang tampak terlihat pada calon pelaku.
Contohnya mereka sering menyatakan keinginannya untuk bunuh diri secara tersamar seperti mengatakan " saya tidak sanggup lagi menghadapi semua ini ", kalimat ini persis seperti syair lagu-lagu pop cengeng di tahun 70 an.
Perubahan cukup hebat terjadi pada perilakunya.
Misalnya, sering menangis, murung, bertengkar, melanggar hukum, impulsif, menganiyaya diri sendiri, membuat tulisan tentang kematian atau bunuh diri.
Orang yang menggambarkan perilaku demikian, termasuk orang yang melankolis.
Secara teoritis orang dengan karakter seperti ini cenderung mudah melakukan bunuh diri.
Kesulitan ekonomi, patah hati, penyakit yang tak kunjung sembuh, bahkan alasan yang tampak sepele sekalipun dapat menjadi pemicunya.
Keadaan fisiknya mengalami kemerosotan yang cukup tajam, seperti tidak bergairah lagi, kehilangan energi, gangguan tidur ( kurang tidur atau tidur berlebihan ), hilang selera makan, berat badan menurun drastis, meningkatnya gangguan kesehatan, minat seksual berubah, dan kurang peduli pada penampilan.
Terjadi perubahan dalam cara berpikir dan rasa.
Misalnya, merasa kesepian ( kehilangan dukungan teman-teman dan keluarga ), merasa ditolak ( dianggap sebagai orang di luar kelompok ), merasa sedih atau merasa bersalah mendalam, kurang dapat memusatkan perhatian pada masalah yang dihadapi, melamun, cemas dan tegang, merasa tidak berdaya, dan kehilangan harga diri.
Pada saat inilah calon pelaku sering bimbang, benarkah ia ingin malakukannya.
Tetapi masa krisis ancaman bunuh diri ini belum berlalu, ada dua kemungkinan yang dapat terjadi :
Pertama ; si calon pelaku justru merasa lega karena telah membuat keputusan untuk segera melakukan niat bunuh diri.
Yang ke dua ; ia kehabisan energi karena depresi hebat.
Begitu segar kembali, ia akan segera melakukan niatnya.
Bila usaha pertamanya gagal, maka akan berusaha lebih keras lagi.
Tetapi ada juga yang mencoba mencari bantuan agar terbebas dari usaha bunuh dirinya.

Untuk melakukan tindakan bunuh diri antara pelaku pria dan wanita pada penelitian didapati cukup memberikan perbedaan ; penelitian di AS dan Eropa membuktikan bahwa pria, terutama pada saat menghadapi kegagalan, cenderung lebih mudah melakukan bunuh diri.
Dan sifat dasar pria memang cenderung lebih resah ketimbang wanita.
Pada penelitian terpisah di University of Sauthern California menunjukkan, wanita lebih gampang sedih, khawatir, dan gelisah dari pada pria, serta rasa ketakutan mereka juga lebih intens.
Tetapi untuk wanita melakukan tindakan konyol bunuh diri masih pikir-pikir dan masih memikirkan tentang dampak keluarga yang ditinggalkan.

Arango dan Mann, pakar bunuh diri dari New York State Psychiatric Institute dalam bukunya Biological Psychiatric meneliti susunan otak orang berjenis kelamin sama, yang meninggal pada waktu yang hampir bersamaan.
Yang satu tewas karena bunuh diri, sedangkan lainnya meninggal secara normal.
Dari hasil penelitian terlihat perubahan anatomis dan kimiawi pada dua wilayah kerja otak orang yang meninggal karena bunuh diri.
Wilayah itu orbital prefrontal cortex diatas mata, dan dorsal raphe nucleus di batang otak.
Perubahan ini menyebabkan berkurangnya kemampuan otak untuk membuat dan menggunakan serotonin, yaitu neurotransmitter yang berguna untuk membangkitkan rasa bahagia pada seseorang.
Hormon itu hanya sedikit terdapat pada orang yang impulsif atau sedang mengalami depresi.
Serotonin diproduksi oleh neuron-neuron dalam dorsal raphe nucleus, lalu dikirim ke orbital prefrontal cortex.
Pada pelaku bunuh diri, jumlah serotonin yang dikirim itu dibawah normal.
Serotonin itu salah satu molekul yang terjalin dalam jaringan biokimiawi yang bernama sumbu Hypothalamic Pituitary - Adrenal ( HPA ).
HPA bertanggung jawab mempengaruhi respons yang diberikan seseorang terhadap stimulus yang diterimanya dari lingkungan.
HPA ini menyebabkan jantung berdebar dengan kencang dan telapak tangan jadi basah, setelah anda menyetir mobil dengan kencang.
Serotonin dalam HPA berguna untuk mengatur ambang stres.
Semakin rendah kadar serotonin pada otak seseorang, semakin mudah ia terkena depresi, berperilaku agresif, dan impulsif.
Kekurangan serotonin juga menimbulkan sakit kepala hebat pada pelakunya.
Bahkan obat penenang berdosis tinggi pun tidak mampu mengatasinya.

Peneliti seperti Charles B. Nemeroff dari The Emory University juga menemukan, sumbu HPA pada anak yang sering dihukum atau disiksa biasanya rusak dan meninggalkan jejak biokimia di otak.
Jejak biokimia itu menyebabkan orang rentan terhadap takanan, sehingga mudah mengalami depresi.

Sebenarnya siapa pelaku bunuh diri itu ?
Immanuel Kant ( 1724 - 1804 ), seorang ahli filsafat dari Inggris., membagi kepribadian manusia menurut temperamennya.
Kelompok temperamen sanguinis dan melankolis yang didominasi perasaan, serta temperamen koleris dan flegmatis yang didominasi kegiatan.
Dari ke empat golongan itu, kelompok melankolis ternyata memiliki kecenderungan besar dalam urusan mencabut nyawa sendiri alias bunuh diri.

Florence Littauer dalam bukunya Personality Plus edisi tahun 1992, menguraikan orang melankolis cenderung tampil serius dan tekun, berpikir secara mendalam, dan penuh pertimbangan.
Orang melankolis memiliki jiwa artistik dan musikal, perasa, dan suka berkorban.
Dalam bekerja ia menetapkan standar tinggi, dan ingin segala sesuatu dilakukan dengan benar.
Bersedia mengorbankan keinginan sendiri untuk hal-hal yang sedang dihadapi, gigih, cermat, tertib, dan terorganisasi.
Orang tipe melankolis sangat berhati-hati dalam berteman, dan berusaha mencari teman hidup ideal.
Sifatnya tertutup, analitis, dan pesimistis.

Lain lagi dengan orang yang bertemperamen sanguinis, tampil sebagai pribadi yang hangat, lincah, dan suka dengan kegembiraan.
Ramah dan senang saat bersama teman-temannya.
Selalu optimis dan suka menolong.
Kepribadiannya terbuka dan senang bicara.

Untuk orang tipe koleris bersikap dinamis dan aktif.
Yakin pada diri sendiri dan tidak terlalu membutuhkan orang lain dalam hidup.
Ia unggul dalam keadaan darurat, dan tidak mudah patah semangat, karena sifatnya yang sangat terbuka dan optimis.
Berusaha memperbaiki kesalahan, tidak emosional dalam bertindak, tidak mudah patah semangat, dan sering tampil sebagai pemimpin di lingkungannya.

Untuk orang yang flegmatis cenderung tampil sebagai orang yang mudah bergaul dan santai.
Ia kalem dan tenang, sabar, konsisten, serta mampu mengembangkan emosinya.
Sifatnya yang cinta damai membuatnya berusaha untuk menghindari konflik, serta mencari cara termudah untuk menyelesaikan masalah

Titik kelemahan orang yang bertemperamen melankolis adalah paling mudah mengalami depresi.
Memang, penderita depresi tidak selalu ingin bunuh diri, tetapi desakan untuk itu senantiasa didahului oleh gangguan depresi.
Karena sifatnya yang tertutup, orang melankolis sulit mengutarakan rasa kecewanya kepada lingkungannya.
Kepada teman, sahabat, kerabat, atau siapapun.
Sebab, pada dasarnya memang tidak sembarangan dalam membina hubungan dengan orang lain.
Selain tidak mudah mendapat kenalan baru, orang melankolis tidak mudah percaya pada orang lain.
Akibatnya, ia sendiri mengalami depresi.
Coba bandingkan dengan temperamen tipe lain.
Seperti sanguinis yang terbuka dan biasanya dapat mengatasi masalahnya dengan " curhat " pada teman-teman nya.
Orang koleris juga mampu mangatasi masalahnya dengan berusaha melakukan hal yang lebih baik.
Orang melankolis mempunyai kemampuan menganalitis di atas rata-rata membuat dia cenderung membesar- besarkan masalah.
Akibatnya, ia sendiri memperkirakan masalah yang dihadapi selalu lebih besar dari pada kenyataannya.
Kemampuan analitisnya dapat membantunya mengolah hal-hal negatif dalam pikirannya menjadi bermuara pada dirinya ( self blaming ).
Cenderung menyalahkan diri sendiri karena tidak dapat memenuhi tuntutannya yang sedemikian tinggi.
Ketika sedang mengalami kegagalan, pada umumnya orang melankolis akan cenderung menyalahkan diri sendiri ( self blaming ).
Self blaming ini harus hati-hati, karena dapat berkembang menjadi suara-suara yang berulang kali menyuruh dirinya untuk bunuh diri.
Kalau sekiranya orang tersebut tidak mampu menguasai diri, maka akan terjadi peristiwa bunuh diri.

Tim La Haye, pemerhati masalah temperamen, dalam bukunya spirit controlled temperament adisi tahun 1992, menyebutkan orang bertemperamen melankolis memiliki sifat yang berpusat pada diri sendiri.
Orang melankolis ini mudah mengalami depresi, pandangannya terhadap kehidupan selalu pesimistis, sehingga dia takut dalam mengambil keputusan.
Orang melankolis tidak ingin dirinya disalahkan, tetapi di sisi lain sering menyimpan kesalahan.
Akhirnya berpengaruh dalam membuat keputusan.
Akibatnya, ia sering mengambil keputusan berdasarkan prasangka.
Prasangka yang terus terakumulasi akan membuatnya terkena depresi.
Jika depresinya begitu berat dan dalam dapat membuatnya gelap mata, dan terbujuk mengikuti suara dari dalam dirinya, yang mendorongnya untuk bunuh diri.
Biasanya seorang pelaku bunuh diri berada dalam keadaan yang sangat tertekan.

Orang yang tega melakukan bunuh diri atau mengakhiri hidupnya sendiri, dikarenakan sedang diluar kontrol kehendak dan sudah melupakan Tuhannya.
Orang itu sedang tidak sadar bahwa dia berharga dan masih memiliki Tuhan dalam hidupnya.
Ingat Tuhan masih mengasihi dia, Tuhan berada dipihak orang yang remuk dan hancur hatinya.
Terima kasih, Tuhan memberkati.

1 komentar: