Sejak zaman dahulu sampai sekarang puyer sebagai bentuk obat yang tak terpisahkan dalam dunia kedokteran.
Dan mengapa akhir-akhir ini puyer dikondisikan sebagai sasaran tembak oleh beberapa kalangan.
Ada beberapa sebab mengapa puyer sebagai sasaran tembak, dituduh ini dan itu.
Dilihat dari pembuatannya, meracik puyer dianggap tidak memenuhi standar cara pembuatan obat yang benar ( CPOB ).
Obat-obat yang diperlukan ditimbang, digerus, dan dicampur dalam mortir.
Setelah itu dibagi secara merata ke dalam kertas pembungkus.
Cara seperti ini dinilai oleh orang-orang tertentu tidak higienis.
saat menggerus, alur dan mortir yang digunakan bisa saja tidak bersih, bahkan bekas meracik resep obat sebelumnya.
Jadi bukan hal yang mustahil, puyer tercampur dengan sisa obat yang menempel pada mortir dari resep sebelumnya.
Karena tidak ditimbang, komposisi puyer yang dibagikan ke dalam kertas pembungkus juga bisa tidak tercampur rata.
Selain itu, puyer biasanya mengkombinasikan beberapa jenis obat sekaligus sehingga interaksi antar obat di dalam puyerpun dipertanyakan.
Obat jadi ( obat yang masih utuh dari pabrik ) yang digerus menjadi bubuk, dapat merusak stabilitas obat jadi tersebut.
Sebagai contoh soal : obat untuk infeksi saluran pernapasan atas, yang dibuat sedemikian rupa agar terlindung dari asam lambung ( preparat lepas lambat ).
Bila digerus menjadi puyer, obat itu akan kehilangan sifat lepas lambatnya sehingga cepat hancur saat terkena asam lambung.
Dengan demikian, efek samping dan risiko keracunan obat menjadi meningkat.
Berhubung diracik dari beberapa bahan sekaligus, bila terjadi reaksi yang tidak diinginkan, obat yang menyebabkan reaksi juga menjadi sulit dideteksi.
Orang yang memberikan pernyataan tersebut dinilai terlalu mudah dalam memberikan tanggapan, tetapi sangat disayangkan kurang cerdas dalam penguasaan dan penalaran keilmuannya.
Marilah kita lihat alasan mengapa puyer sebagai pilihan utama dalam pengobatan ketimbang obat jadi;
Dengan puyer bahan dan dosisnya bisa disesuaikan secara lebih tepat dengan kondisi pasien.
Selama ini pihak pabrik menginginkan hanya satu bentuk dosis untuk semua orang di dunia.
Namun kebijakan ini tidak bisa diterima secara ilmiah.
Setiap ras di dunia mempunyai perbedaan gen dalam memproduksi enzim yang mengatur sifat absorpsi, metabolisme, dan ekskresi obat-obat tertentu di dalam tubuh ( lihat tulisan dr. Sintoso Pujianto dengan judul : Penemuan baru farmakogenomik tentang respons negatif terhadap obat pada etnis Timur dan Barat. dalam buku Sehat itu enak dan perlu, penerbit Kompas Gramedia ).
Kita mengambil contoh soal , di negara Barat propanolol ( obat hipertensi ) diberi dalam dosis beberapa ratus miligram mungkin tidak apa-apa.
Namun pada pasien di Indonesia, dosis ini bisa menghentikan denyut jantung.
Bila selama ini puyer lebih sering diberikan untuk anak-anak, tentu ada alasannya.
Negara-negara produsen obat di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang tidak cukup melakukan studi penentuan dosis obat jadi terutama untuk anak-anak, sehingga data mengenai efektivitas, efek samping, dan dosis yang akurat sangat sulit ditemukan.
Celakanya lagi, di Indonesia pencantuman dosis obat jadi, untuk dewasa dan anak-anak, dalam buku-buku panduan pun ( seperti MIMS dan lainnya ) dilakukan dengan cara menyontek dosis anak di negara produsen obat tadi.
Begitu juga dengan obat-obat yang banyak dipakai sejak tahun 1970-an seperti paracetamol, efedrin, CTM,dan kodein.
Dosis CTM ( obat jadi ) sebanyak 1 tablet terlalu besar, sehingga bisa membuat pasien tertidur seharian.
Padahal untuk mendapatkan efektivitasnya, 1/4 tablet saja sudah cukup.
Banyak juga orang yang mengira bahwa berkeringat banyak setelah minum paracetamol ( obat penurun panas ) adalah wajar.
Bahkan, mengira itu tanda obatnya mulai bekerja, padahal itu tanda overdosis.
Itulah sebabnya, para dokter yang menyadari fenomena ini merasa perlu membuat racikan puyer yang dosisnya disesuaikan dengan kondisi anak.
Misalnya dengan menyesuaikan usia dan berat badannya.
Proses pembuatan puyer mempunyai prosedur wajib SOP ( Standart Operating Procedure ) yang harus dijalankan oleh tenaga farmasi.
Antara lain, obat yang digunakan tidak berasal dari obat yang tidak boleh digerus ( misalnya obat dalam bentuk " Controlled release " seperti euphyllin retard dan glucotrol XL ), dosisnya pas, kombinasi antara satu bahan dengan bahan yang lainnya tidak menimbulkan reaksi negatif, dan diberikan pada pasien sesuai kondisinya.
Sama seperti yang terjadi pada perusahaan obat, risiko human error pada proses peracikan puyer selalu ada.
Tetapi dengan memusuhi puyer hanya karena alasan itu pun tidak bijaksana, karena dengan pertimbangan menyesuaikan dosis dengan kondisi pasien, puyer tetap diperlukan.
Tentu saja, dokter yang meresepkan puyer harus paham benar, berdasarkan diagnosa pasien, apakah pasien memang perlu puyer, bahan apa saja yang perlu diresepkan, apa saja kombinasinya, mana yang boleh digerus menjadi puyer dan yang tidak, berapa dosisnya, apakah sudah tepat sasaran, dan seterusnya.
Bila syarat-syarat itu telah terpenuhi, puyer bisa dipertanggungjawabkan keakuratan, higienitas, efektivitas, dan keamanannya.
Mengenai alasan penggunaan alur dan mortir tidak bersih itu terlalu dicari-cari dan sudah kehilangan akal, rasanya semua apotek menggunakan alur dan mortir yang sudah dicuci bersih dan dijamin steril untuk siap digunakan sesuai dengan SOP yang ia miliki.
Dengan penjelasan ini semoga pro-kontra puyer hanya sampai disini.
Terima kasih, Tuhan memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar