Selasa, 15 November 2011

Alergi dapat mengubah perilaku.

Badan kesehatan dunia World Allergy Organization ( WAO ) melaporkan pada tahun 2010, jumlah penduduk dunia yang mengalami alergi sebanyak 27 persen.
Dari jumlah tersebut, alergi di negara maju mencapai 46 persen.
Sedangkan beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan angka yang belum pasti, namun selalu meningkat setiap tahunnya.
Pada umumnya keberadaan sistem kekebalan tubuh ditujukan untuk menghancurkan senyawa-senyawa membahayakan yang masuk ke dalam tubuh, seperti bakteri, virus, bahkan sel-sel kanker.
Tetapi terkadang sistem kekebalan tubuh mengalami kebingungan, dan akibatnya malakukan kesalahan dan bereaksi terhadap senyawa-senyawa yang sebetulnya tidak membahayakan tubuh.
Hal seperti itulah yang disebut sebagai reaksi alergi.
Senyawa-senyawa yang dimaksud disebut alergen.

Disamping reaksi yang melibatkan sistem kekebalan tubuh tadi, ada juga reaksi yang tidak melibatkan kekebalan tubuh yang disebut intoleransi makanan ( food intolerance ).
Reaksi ini disebabkan oleh zat yang terkandung di dalam makanan langsung mempengaruhi fungsi otak.
Misalnya bahan tambahan seperti pengawet, penyedap rasa, dan pewarna.
Dapat juga disebabkan oleh kontaminasi racun seperti yang dikeluarkan oleh bakteri salmonella, atau histamin pada kasus alergi ikan.
Zat farmakologi yang terkandung dalam makanan itu sendiri, seperti tiramin pada keju, dan kafein pada kopi juga bisa langsung mempengaruhi fungsi otak.
Mengenai masalah alergi dan intoleransi ini sering terjadi salah kaprah.
Seharusnya semua ini disebut reaksi simpang makanan, namun secara umum orang menyebut keduanya alergi.
Padahal sebelum menjalani tes alergi, reaksi yang muncul baru bisa di diagnosa sensitif atau hipersensitif terhadap makanan tertentu.

Pada hasil penelitian baru-baru ini dilaporkan bahwa alergi ternyata tidak hanya berupa gatal-gatal, asthma bronchiale, pilek atau diare yang sudah kita kenal selama ini.
Belakangan alergi makanan diduga dapat menimbulkan gangguan perilaku pada penderitanya.
Seorang anak akan mengalami gangguan perilaku seperti mudah marah, sulit konsentrasi, cepat bosan, pribadi yang sensitif, mudah tersinggung, selalu gelisah tanpa sebab, mengamuk dan rewel.
Setelah 1 jam mengonsumsi makanan seperti keju, susu sapi, telur, ikan laut, tepung-tepungan, monosodium glutamat ( MSG ) dan minuman bersoda ( soft drink ) yang mengandung pemanis aspartam.
Selama ini banyak yang belum mengetahui bahwa makanan dapat mempengaruhi fungsi otak, bahkan menimbulkan gangguan perilaku.
Masalah makanan yang mengganggu fungsi otak ( brain allergy ) ini masih menjadi kontroversi di kalangan para ilmuwan.
Reaksi alergi yang dapat menimbulkan gangguan perilaku bisa saja terjadi, tetapi tidak secara langsung.
Jika alerginya kronis, kemungkinan besar akan cepat memunculkan reaksi dan langsung dapat merubah perilaku, seperti pemarah, tidak sabaran, tidak bisa belajar dan otak juga akan kekurangan oksigen, dikarenakan hidung tersumbat ( mampat ) dan sebagainya.
Selain itu pada saat terjadi reaksi alergi kadar histamin dalam darah meningkat, histamin akan diedarkan ke seluruh tubuh, jika beredar ke sistem pernapasan, akan menyebabkan hidung tersumbat, kontraksi otot-otot bronchus, merangsang produksi lendir, timbul reaksi peradangan dan pada ujungnya munculah apa yang disebut penyakit asthma bronchiale.
Kalau histamin itu beredar dan sampai ke otak, akan langsung mengubah kadar histamin dalam otak.
Histamin berfungsi " membangunkan " otak.
Kalau jumlahnya berlebihan, otak akan semakin terangsang.
Jadi perubahan perilaku merupakan pengaruh tidak langsung dari gejala penyakit tersebut.

Para ilmuwan berpendapat bahwa alergi makanan dapat mengganggu perilaku berdasarkan teori target organ ( organ sasaran ).
Reaksi alergi merupakan manifestasi klinis yang karena proses alergi pada seseorang dapat mengganggu semua organ dan sistem tubuhnya.
Karena setiap orang bersifat sangat individual, maka organ atau sistem tubuh sasaran yang diserang juga bisa berbeda-beda.
Jika yang diserang sistem pernapasan, maka gejala alergi yang muncul berupa batuk, pilek, sesak napas, atau mimisan, sedangkan jika yang diserang sistem pencernaan, maka gejala yang ditimbulkan berupa nyeri perut, kolik ( melilit ) pada bayi, diare, sembelit, kembung, sariawan atau mulut berbau.
Jika kulit yang menjadi organ sasaran, biasanya timbul gejala gatal-gatal, eksema ( dermatitis ), biduran ( urtikaria ), bengkak di bibir, dapat juga muncul dalam produksi keringat yang berlebihan.

Otak juga dapat dijadikan organ sasaran, karena di dalam otak terdapat sistem susunan saraf pusat dan organ tubuh yang paling peka terhadap setiap bentuk rangsangan.
Hampir 30 % dari energi yang kita peroleh berasal dari makanan sehingga bisa saja zat-zat tertentu yang terdapat dalam makanan tersebut mempengaruhi fungsi otak.
Jika fungsi otak sudah terganggu, struktur senyawa kimia di dalamnya menjadi tidak seimbang.

Alergi yang menyerang fungsi otak atau susunan saraf pusat ini bisa timbul dalam dua macam gejala :
Pertama disebut neuroanatomis, gejalanya berupa sering sakit kepala, migren dan gangguan tidur.
Yang ke dua neuroanatomis fisiologis,, gejalanya berupa emosi yang tidak terkendali, agresif, gangguan koordinasi, gangguan konsentrasi, hiperaktif, bahkan autisme.

Reaksi simpang makanan, baik yang berupa alergi atau intoleransi bisa menyerang semua usia, namun sebagian besar diderita oleh anak-anak terutama yang berusia 5 sampai 7 tahun.
Meskipun begitu gejala yang timbul tidaklah sama pada bayi dan anak-anak diantaranya berupa :
- Gerakan motorik yang berlebihan.
Misalnya suka memanjat, berguling-guling, menjatuhkan diri dikasur, selalu bergerak.

- Gangguan tidur.
Di malam hari tidurnya gelisah ; berbicara, berteriak atau tertawa dalam tidur, sering tiba-tiba terbangun saat tidur, dan mengorok.

- Gangguan konsentrasi.
Misalnya cepat bosan terhadap suatu aktivitas ( kecuali menonton televisi, membaca komik, atau main games ), terburu-buru, tidak teliti, sering kehilangan barang, mudah lupa, sulit menyelesaikan pelajaran dengan baik.
Anak-anak ini biasanya justru tampak cerdas dan pintar.

- Gangguan emosi.
Mudah marah, sering berteriak, mengamuk, keras kepala, suka membantah atau sulit diatur, rewel, dan mudah menangis ( cengeng ).

- Gangguan perkembangan motorik.
Biasanya pada bayi mengalami kesulitan membalikan badan, duduk, dan merangkak.
Jika berjalan sering terburu-buru, berjalan jinjit, dan duduk dengan bentuk kaki w ( terlipat ke belakang ).

- Terlambat bicara.
Orang tua harus waspada jika pada usia 15 bulan bayi sama sekali belum mengeluarkan kata-kata sederhana.

Sedangkan pada orang dewasa, gejala spesifik yang sering muncul adalah gangguan emosi seperti sulit tidur, gelisah, selalu terburu-buru, mudah marah, sensitif berlebihan, depresi, atau justru gembira berlebihan tanpa alasan yang jelas.

Menurut Richard Mackerness, konsultan nutrisi dari Inggris, ada 5 gejala kunci, alergi pada orang dewasa yang sering tidak disadari.
Gejalanya meliputi :
- Berat badan yang berlebihan atau sebaliknya, berat badan kurang.
- Lelah terus menerus dan tidak hilang meski sudah beristirahat.
- Terjadi pembengkakkan disekitar mata, perut, tangan dan pergelangan kaki.
- Denyut jantung yang cepat dan berdebar-debar, khususnya setelah makan.
- Produksi keringat yang berlebihan meskipun tidak berolahraga atau beraktivitas.

Ada beberapa makanan yang dapat menimbulkan alergi dan pengaruhnya terhadap fungsi otak.
Diantaranya :
- Protein susu sapi baik dalam bentuk susu murni atau bentuk lain, seperti es krim, keju dan kue, yang dapat meningkatkan alergenisitas yaitu jenis beta - lactoglobulin.

- Telur ayam.
Kuning telur dianggap kurang alergenik dari pada putih telur.
Putih telur mengandung 23 glikoprotein dan yang merupakan alergen utama adalah : ovalbumin, ovomucoid, dan ovotransferin.
Bagi yang alergi telur ayam, hati-hati bila diberikan vaksin yang ditanam dalam kuning telur, misalnya vaksin campak dapat menimbulkan reaksi alergi.

- Protein kacang-kacangan, yang larut dalam air ( albumin ) dan yang tidak larut dalam air ( globulin ) yang terdiri dari fraksi arachin dan conarachin.

- Ikan, terutama ikan laut.
merupakan alergen yang kuat, dan hidangan laut lainnya seperti udang, kepiting, cumi-cumi dan sebagainya.
Proses pemasakan ( pemanasan ) sebagian besar dapat menghancurkan alergen utama.

- Kacang kedelai.
Sifat alergenisitasnya akan berkurang pada proses pemanasan.

- Gandum, tidak selalu menimbulkan reaksi alergi, karena dicerna oleh enzim pencernaan di lambung.

- Makanan yang relatif jarang menimbulkan alergi diantaranya : daging ayam kampung ( bukan ayam negri ), daging sapi, daging babi, kentang, coklat, jagung, beras ( nasi ), jeruk serta bahan-bahan aditif makanan seperti bumbu-bumbu, pengawet, pewarna dan penyedap rasa.

- Reaksi alergi terhadap buah-buahan misalnya jeruk ( jeruk baby ), tomat, apel, relatif sering terjadi pada usia 15 bulan.
Gejalanya berlangsung agak lama, umumnya gatal-gatal di mulut.
Jeruk adalah jenis buah yang sering menimbulkan gatal-gatal dan kemerahan pada kulit bayi.
Sifat alergenisitas buah dan sayur dapat berkurang bila disimpan dalam freezer selama 2 minggu atau dimasak selama 2 menit.

Pada kasus alergi makanan yang menimbulkan gangguan perilaku sebagian besar diderita oleh orang yang mengalami gangguan saluran pencernaan.
Ada beberapa teori yang dapat menjelaskan bagaimana gangguan perilaku bisa berasal dari sistem pencernaan yang terganggu, antara lain :
- Teori gangguan perut dan otak ( gut brain axis ).
Karena ketidaksempurnaan saluran cerna ( usus halus, atau organ lain ) dalam menyerap sari makanan, maka zat yang dialirkan ke otak pun tidak sesuai dengan kebutuhan.
Kekurangan nutrisi tertentu pada otak dapat menimbulkan gangguan perilaku.

- teori metabolisme sulfat.
Pada orang normal, bahan makanan yang mengandung sulfur seharusnya diubah menjadi sulfat ketika masuk ke dalam tubuh, sisanya dibuang melalui urine.
Namun pada penderita alergi, sulfur tersebut justru diubah menjadi sulfit.
Sulfit inilah yang mengganggu organ sasaran, termasuk fungsi otak.

Cara yang termudah adalah menghindari makanan yang dicurigai alergi.
Jika saat dihindari reaksinya hilang, artinya itu bukan alergi.
Pada umumnya diagnosa alergi makanan dibuat berdasarkan diagnosa yang sifatnya klinis, yaitu dengan mengetahui riwayat penyakit, riwayat keluarga, riwayat pemberian makanan, tanda dan gejala alergi makanan sejak kecil.
Tes alergi dengan penyuntikan alergen tertentu pada kulit kurang efektif, karena yang terdeteksi proses reaksi cepat ( timbul dalam waktu kurang dari 8 jam ) seperti bila makan udang, timbul gatal-gatal.
Sedangkan alergi makanan yang reaksinya lambat ( lebih dari 8 jam ) sering tidak terdeteksi.

Tes yang paling efektif adalah metode provokasi makanan secara buta, disebut Double blind placebo control food challenge ( DBPCFC ).
Sayangnya, metode ini sangat rumit dan membutuhkan biaya serta waktu yang cukup banyak.

Untuk mendeteksi adanya alergi ini bisa juga dilakukan sendiri dengan metode eliminasi dan provokasi.
Disini penderita harus menghindari makanan yang dicurigai sebagai penyebab alergi selama 2 sampai 3 minggu, setelah 3 minggu atau keluhan alergi menghilang, dilanjutkan dengan pemberian ( provokasi ) makanan yang dicurigai selama 1 minggu.
Selama itu dilakukan pengamatan apakah ada reaksi tertentu yang muncul.
Makanan yang dicurigai bisa disebut sebagai penyebab alergi, jika dalam 3 kali provokasi menimbulkan gejala.
Walaupun demikian sebagian besar ilmuwan berpendapat bahwa dengan melakukan penghindaran makanan alergen, dapat bermanfaat mencegah terjadinya alergi makanan.
Trimakasih, Tuhan memberkati.

1 komentar:

  1. saya baru tahu ada pengaruhnya terhadap perilaku. makasih udah share.

    BalasHapus