Selasa, 01 November 2011

Gila.

Pada tulisan ini, penulis akan membahas mengenai penyakit gangguan jiwa yang biasa dikenal orang dengan sebutan gila.
Penulis juga mencoba akan meluruskan anggapan yang keliru bahwa gila adalah stigma buruk.
Jika kita mendengar kata " gila " biasanya yang terlintas di benak kita tak lebih dan tak kurang adalah orang tidak waras dengan tingkah lakunya yang aneh-aneh.
Ternyata penyakit ini memang tidak sesederhana yang kita duga, baik penyebab, jenis gangguan, ataupun bentuk-bentuk terapinya.
Istilah gila, miring, edan, sableng, sinting dan seterusnya, hanyalah istilah yang diberikan masyarakat awam.
Dalam terminologi kedokteran jiwa istilah itu disebut psikosis, yang kurang lebih berarti gangguan jiwa.
Penyakit jiwa ini sudah lama keberadaannya, tetapi anehnya hingga kini belum banyak dipahami orang.
Paling tidak persepsi masyarakat terhadap penyakit yang satu ini memang kompleks dan acap kali keliru, sehingga menimbulkan konotasi negatif.

Pada sebagian masyarakat penyakit ini masih dianggap sebagai penyakit kutukan atau keturunan yang memalukan.
Bahkan tidak sedikit yang mengaitkannya dengan hal-hal yang berbau gaib seperti kemasukan roh jahat, kena guna-guna dan seterusnya dan sebagainya.
Padahal yang merasa dirinya waras, sebenarnya juga sering mengalami gangguan kejiwaan.
Buktinya, orang modern seperti sekarang ini mana ada yang tidak pernah mengalami apa yang disebut stres ?
Mungkin karena penggunaan istilahnya tidak seseram " gila ", orang yang stres merasa hal itu biasa saja.
Cuma kalau hal itu diatasi masih dalam taraf awal dan ringan, tentu saja penderita stres atau depresi akan cepat kembali normal.

Pengertian penyakit gila ini juga sering dicampuradukkan dengan gangguan-gangguan jiwa lainnya.
Padahal gila merupakan gangguan jiwa paling berat dibandingkan dengan yang lainnya.
Menurut teori ilmu kedokteran, penyakit yang menyerang mental orang ini dapat dibagi menjadi lima golongan besar :
Pertama ; gangguan jiwa berat atau psikotik.
Yang ini lebih dikenal dengan sebutan gila atau edan ( mad atau insane ) itu.
Seseorang dibilang gila ( secara medis ) kalau tiga fungsi utama ( afektif, kognitif, konatif ) dalam dirinya terganggu.
Fungsi afektif itu memang bertugas mengendalikan perasaan.
Fungsi kognitif membuat orang memiliki daya pikir, menangkap rangsangan dari luar, dan mengambil kesimpulan, sedangkan fungsi konatif mengendalikan tindakan dan prilaku.

Pada manusia normal, ketiga fungsi tadi berjalan seimbang.
Seseorang yang tidak lulus ujian lalu menangis, atau kalau mendapat hadiah besar tertawa senang, itu perilaku normal.
Tetapi kalau seseorang tertawa sendiri tanpa alasan, atau berpikir tidak logis, aneh atau ngaco, kemauannya berubah menjadi aneh, berarti ke tiga fungsi utama tadi terganggu.

Ke dua ; yaitu gangguan afektif.
Gangguan ini ada 2 macam : Afektif jelek dan afektif gembira.
Gangguan afektif jelek ini ditandai dengan depresi : penderita terus menangis, merasa dirinya bodoh, tidak ada gunanya, dan lain-lain.
Sebaliknya pada afektif gembira : misalnya penderita terus bersolek sambil bernyanyi-nyanyi, terus mengoceh macam orang berpidato, merasa dirinya presiden, bahkan ada yang menyamakan dirinya dengan Tuhan.
Penderita afektif gembira ini mempunyai sifat maniak, menilai dirinya kelewat tinggi.

Gangguan ke tiga yaitu gangguan neurotik.
Yang ini relatif lebih ringan, meski tidak berarti pengobatannya mudah.
Cemas berat pada penderita ini paling menonjol.
Termasuk dalam kelompok ini penderita psikosomatik ( misalnya menyatakan diri sakit jantung karena jantung dirasakan terus berdebar-debar dibarengi dengan keringat dingin ), dan fobia ( takut pada ketinggian, takut pada orang banyak dan lain-lain ).
Gangguan neurotik ada yang bersifat obsesif kompulsif.
Pendidikan orang tua pada anak secara keliru kelak bisa membawa anak memiliki kepribadian aneh dan mudah terkena gangguan ini.
Misalnya, sikap orang tua yang selalu menuntut anak melakukan hal-hal secara sempurna.
Baik soal prestasi, kebersihan, kedisiplinan, dandanan, dan seterusnya.
Gejala pada orang yang mengalami gangguan ini misalnya mencuci piring atau tangan terus di ulang-ulang.
Kecenderungan itu berlangsung terus menerus tanpa ada rasa puas.
Gangguan neurotik bisa timbul karena faktor keturunan ( genetik ), bisa juga karena faktor " belajar " dari orang tua.

Ada lagi yang namanya neurotik histeria, yaitu konflik mental emosional yang secara fisik tidak tersalurkan.
Contohnya seorang istri yang terus tertekan karena suaminya penuntut, perfeksionis, otoriter.
Rasa berontak dalam dirinya tercetus dalam bentuk histeria atau kejang sambil menjerit-jerit.
Neurotik histeria bisa mengakibatkan gangguan pada organ tubuh, seperti lambung ( maag ), jantung, kulit gatal-gatal dan seterusnya.

Ke empat ; gangguan kepribadian ( personal disorder ).
Termasuk didalamnya seorang psikopat dan sosiopat.
seorang psikopat jahat membuat dirinya atau orang lain sengsara.
Dalam dirinya selalu ada agresivitas.
Ia tidak bisa belajar dari pengalaman masa lalu, dan akan mengulangi perbuatan jahat kembali, entah itu membunuh, membakar, mengacaukan suasana dan lain-lain.
Meskipun pernah masuk penjara bertahun-tahun.
Namun dari kelompok ini banyak yang memiliki IQ tinggi dan menjadi tokoh dunia.
Sebagai contoh Adolf Hitler, Napoleon Bonaparte, atau Lowrence of Arabia.
Mereka ini penderita psikopat.
Kalau kita mengingat kembali kejadian di tahun 1981, tragedi Heysel ( Belgia ) yang menelan ratusan korban akibat ulah brutal para suporter kesebelasan Inggris.
Kalau tidak salah Juventus melawan Liverpool, waktu itu penulis sedang menonton pertandingan di kota Bandung.
Sikap mereka masuk dalam golongan hooligalism atau sosiopat.
Kelainan psikopat juga berlaku bagi orang-orang taat ibadah, yang berbuat kebaikan untuk orang lain.

Ada juga psikopat diam, penderita menjadi sangat pasif, tidak produktif, tidak ada kemauan ataupun inisiatif.
Ini banyak terjadi pada para penganggur yang suka tinggal di rumah dengan hanya membaca atau memelihara binatang kesayangan.
Kalau ditanya mengapa tidak mau bekerja, macam-macam alasan akan dilontarkan.

Gangguan jiwa yang ke lima ; adalah keterbelakangan mental.
Pada umumnya kelainan ini diperoleh sejak lahir atau setelah menderita encephalitis ( radang otak ), epilepsi ( ayan ) dan lain-lain.
Tingkatannya mulai dari idiot sampai slow learner, dengan IQ biasanya di bawah 90.

Setelah kita pelajari ternyata penyakit gangguan jiwa itu begitu luas cakupannya.
Lantas bagaimana mekanismenya, sampai seseorang dapat terganggu jiwanya.
Jika kita jelaskan secara umum dan sederhana, tubuh manusia itu terdiri atas sel-sel sarap.
Otak manusia sehat menyimpan kurang lebih 10 - 15 juta sel sarap, satu dengan yang lainnya saling berhubungan ( anastomose ).
Namun hubungan sel-sel sarap tadi harus melewati semacam jembatan penghubung yang didalamnya terdapat zat kimia yang disebut neurotransmitter.
Fungsi zat ini sangat vital dalam prilaku manusia sebab tugasnya mentransfer rangsangan, kalau neurotransmitter ini geraknya kurang tepat akan berpengaruh pada reaksi rangsangan manusia, sehingga muncul prilaku agak aneh.
Kalau rangsangan itu terlalu cepat, tiba-tiba tertawa sendiri tanpa sebab yang jelas.
Sebaliknya, kalau ditanya diam saja atau melamun, ini karena reaksi yang lambat.
Jadi, penyakit jiwa itu secara kimiawi sebetulnya terletak pada kurang tepatnya kadar zat neurotransmitter.
Penyakit jiwa tak ubahnya seperti penyakit organis lainnya, seperti penyakit kencing manis, asthma bronchiale, darah tinggi, stroke, tetanus dan seterusnya, semakin dini diobati, semakin mudah proses penyembuhannya.
Kalau kencing manis disebabkan kurangnya zat insulin, maka si penderita perlu minum tablet obat atau disuntik dengan zat insulin, begitu juga sakit jiwa.
Karena yang tidak beres zat neurotransmitternya, maka obatnya ya menormalkan zat itu.
Jadi, penyakit jiwa yang sering disebut gila itu sebetulnya penyakit badan biasa yang dapat diobati.

Penderita yang seharusnya mendapat perawatan di rumah sakit terutama adalah mereka yang mengalami gangguan psikotik afektif yang membahayakan maupun neurotik yang kadar kecemasannya berlebihan, serta psikopat jahat.
Usaha untuk pemulihan kesehatan dan kepercayaan diri pada penderita sakit jiwa sangatlah kompleks.
Persoalannya tidak sekedar terbatas pada upaya preventif ( pencegahan ) dan kuratif ( pengobatan ), melainkan juga pada usaha promotif ( penyuluhan ) serta rehabilitatif ( memperbaiki ).
Yaitu suatu rangkaian upaya yang bersifat medis, sosial, pendidikan, maupun vokasional ( pendidikan kejuruan ) untuk melatih seseorang ke arah tercapainya kemampuan fungsional yang optimal, sehingga diharapkan kelak mampu menjadi anggota masyarakat yang berguna ( kembali ).
Upaya penyembuhan disamping dengan obat-obatan, dilakukan juga terapi sosial ( terapi rekreasi, terapi okupasi ) dengan gerak dan kerja.
Penyembuhan secara organik dan terapi sosial sangat saling berkait.
Pementasan musik berguna untuk memacu emosi penderita.
Sebenarnya musik hanyalah terapi rekreasional, sama seperti menari, melukis.
Jadi jangan diharapkan hanya dengan terapi musik itu si penderita lantas bisa sembuh.
Disini hanya diberi kesempatan untuk menyalurkan minatnya dalam hal musik.
Jenis musiknya juga bervariasi dari dangdut sampai pop dan tidak bisa disamaratakan bagi semua penderita.
Penderita afektif jelek jangan diberi lagu sedih, tetapi yang gembira.
Sebab hal ini mampu membangkitkan semangat penderita.
Kalau diberi lagu yang sedih nanti tambah jelek hasilnya.
Bisa juga diberikan terapi olah raga termasuk senam dan sepak bola pada para rehabilitan, terapi film ( pemutaran film ) dan terapi membaca ( majalah psikologi, novel, sampai cerita silat ).
Mereka juga diberi kesibukan tertentu, berupa kegiatan menyulam, menjahit, berkebun, membuat keranjang dan keset, dan membuat batako pres.
Juga dibiasakan hidup bergotong royong dan disiplin.
Tiap minggu diberi upah, seperti layaknya manusia sehat.
Kalau kita bertanya apakah penderita psikosis ini dapat disembuhkan ?
Terkadang pengertian sembuh itu sendiri, masyarakat mintanya terlalu berlebihan, inginnya sembuh sempurna seperti manusia waras lainnya.
Jelas susah, karena sudah cacat, seperti penyakit kencing manis atau darah tinggi, merupakan penyakit seumur hidup.

Pemahaman masyarakat terhadap penyakit jiwa diakui masih sangat rendah.
Malah sebagian besar masyarakat memberikan " cap buruk " atau stigma, sehingga penyandang gangguan mental ini seperti diadili, dikucilkan, dan dilemparkan jauh dari komunitas masyarakat.
Persepsi buruk masyarakat ini jelas bertolak belakang dengan prinsip-prinsip ilmu kesehatan jiwa, justru si penderita harus dikembalikan kemampuannya baik fisik maupun mental seperti semula, sehingga bisa kembali terjun ditengah masyarakat.
Jadi jangan menambah kompleksnya penderitaan si penyandang cacat jiwa, walau sudah dinyatakan sembuh, tetapi dibalik penderitaan jiwanya, ternyata mereka masih harus menanggung beban risiko lebih berat, berupa cercaan lingkungan masyarakat disekitarnya.
Cap buruk masyarakat itu harus dibuang jauh-jauh, kalau kita tak ingin di cap sebagai masyarakat " gila " juga, karena tidak memanusiakan manusia gila yang sebenarnya telah sembuh.
Jadi penyakit jiwa, gila, edan, sableng atau sinting itu salah satu sumbernya berasal dari lingkungan kita sendiri.
Kalau lingkungan juga " gila " mungkin orang yang ikut-ikutan gila bisa-bisa malah di cap sebagai orang gila.
Trimakasih, Tuhan memberkati.

1 komentar:

  1. syaloom pak, apakah dengan istrumen musik klasik bisa menolong gak bagi mereka yang memiliki gangguan mental?

    BalasHapus