Jumat, 08 April 2011

" Hidden Hunger " suatu label kemiskinan ?

Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan, dan kedokteran.
Dunia pers lebih suka pakai istilah " busung lapar ".
Meskipun anak yang gizi buruk belum tentu kelaparan, yang tepat sebenarnya kelaparan tidak kentara ( hidden hunger ) karena mereka hanya kenyang karbohidrat, tetap " lapar " banyak zat gizi lainnya.

Gizi buruk adalah bentuk terparah ( akut ) dari proses terjadinya kekurangan gizi.
Anak balita ( bawah lima tahun ) sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal dua tahun ( baduta ).
Apabila pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur menurut standar WHO, berarti bergizi baik.
Kalau sedikit dibawah standar disebut bergizi kurang yang bersifat kronis.
Apabila jauh dibawah standar dikatakan bergizi buruk.
Jadi, istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat berat atau akut.

Dikalangan ahli gizi dikenal istilah fenomena gunung es guna menggambarkan besaran masalah yang tersembunyi, jika kasus gizi buruk muncul.
Bila ratusan balita menderita gizi buruk, dapat diduga ribuan anak lain mengalami gizi kurang dan tidak tampak dimata masyarakat.

Anak yang bergizi kurang, berarti kekurangan gizi, pada tingkat ringan atau sedang, belum menunjukkan gejala sakit.
Dia seperti anak-anak yang lain, masih bermain dan sebagainya, tetapi jika diamati dengan seksama badannya mulai kurus.
Dari sekitar 5 juta anak balita ( 27,5 persen ) yang kekurangan gizi, lebih kurang 3,6 juta anak ( 19,2 persen ) dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk ( 8,3 persen ), Depkes, 2004 mengutip BPS 2003.
Meskipun jumlahnya relatif lebih sedikit, kasus gizi buruk lebih cepat menarik perhatian media masa, karena dapat di foto dan kelihatan nyata penderitaan anak : sakit, kurus, bengkak ( busung ), dan lemah.
Mereka mudah dikenal dan dihitung jumlahnya.
Berbeda dengan anak yang gizi kurang, meskipun jumlahnya lebih banyak, mereka kurang mendapat perhatian karena tidak mudah diketahui umum.
Padahal, kelompok ini akan menjadi kandidat gizi buruk apabila tidak dilakukan upaya pencegahan.
Cara pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan memantau pertambahan berat badan anak ( terutama baduta ) dengan kartu menuju sehat ( KMS ) di posyandu.
Karena busung lapar atau gizi buruk merupakan suatu proses, tidak tiba-tiba, harus bertindak lebih cepat dengan mengetahui sebab langsung dan tidak langsung gizi buruk.
Serta memantau ( surveillance ), dan dilakukan tindakan pencegahan.

Penyebab langsung yang dialami oleh anak diantaranya :
- Bayi dan anak balita tidak mendapat makanan yang bergizi seimbang, dalam hal ini air susu ibu, dan kalau sudah lebih dari enam bulan anak tidak mendapat makanan pendamping ( baca bukan pengganti ) ASI ( MPASI ) yang baik.
MPASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, Vit A, asam folat, vitamin B, vitamin dan mineral lainnya.
Hanya keluarga mampu dan berpendidikan yang mampu menyediakan MPASI yang baik ini, baik memasak sendiri atau membeli.
Karena itu, umumnya anak-anak mereka tumbuh kembang dengan baik, sedangkan anak balita dari keluarga tidak mampu harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi anak balita.

- Selanjutnya, pola pengasuhan anak.
Suatu studi positive deviance mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan anak balita di suatu desa miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk, padahal orang tua mereka semuanya petani miskin.
Dari studi ini diketahui pola pengasuhan anak berpengaruh terhadap timbulnya gizi buruk.
Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan dan mengerti soal pentingnya ASI, posyandu, kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat.
Unsur pendidikan wanita berpengaruh pada kwalitas pengasuhan anak.
Sebaliknya sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek atau tetangga bukan kerabat yang juga miskin dan tidak berpendidikan.
Banyak wanita yang meninggalkan desa mencari kerja di kota, bahkan menjadi TKI, kemungkinan juga dapat menjadi penyebab gizi buruk.

- Pelayanan kesehatan, terutama imunisasi, penanganan diare dengan oralit, tindakan cepat pada anak balita yang tidak naik berat badannya, pendidikan, penyuluhan kesehatan dan gizi.
Gizi buruk bisa digambarkan dengan : Kwashiorkor , kondisi ini menggambarkan kekurangan protein kronis pada anak-anak.
Istilah ini berasal dari Afrika untuk merujuk seorang anak yang sakit dan menderita karena ibunya melahirkan lagi.
Dia menjadi terabaikan karena sang ibu harus merawat adiknya yang lebih kecil.
Indikasi kwashiorkor pertama kali dikemukakan tahun 1933 oleh seorang dokter anak CD Williams yang bekerja di pantai gading Afrika.
Ketika anak-anak mulai disapih lalu mendapat pangan tinggi karbohidrat tetapi miskin protein, mulailah mereka menunjukkan gejala kwashiorkor.
Tingkat kematian akibat kwashiorkor bisa mencapai 10-30 persen.

- Lain lagi dengan Marasmus : Keadaan dimana seorang anak mengalami defisiensi protein dan energi sekaligus.
Umumnya dialami masyarakat yang menderita kelaparan.
Perbandingan marasmus dan kwashiorkor antara lain : umur penderita marasmus adalah bayi, dampak mental dan fisiknya parah, edema tidak ada, perubahan rambut ( pirang ) biasa terjadi, wajah penderita marasmus " monkey face ", dan penyebabnya kurang kalori-protein.
Sementara umur penderita kwashiorkor 2-3 tahun, dampak mental tidak ada, dampak fisik ringan, edema ada, perubahan rambut ( pirang ) sangat biasa terjadi, wajah anak kwashiorkor " moon face ", penyebab kurang protein.

Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk.
Data dari Indonesia dan di negara lain menunjukkan adanya hubungan antara kurang gizi dan kemiskinan.
Proporsi anak yang gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan.
Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentase anak yang kekurangan gizi ; makin tinggi pendapatan, makin kecil persentasenya.
Hubungannya bersifat timbal balik, kurang gizi berpotensi sebagai penyebab kemiskinan melalui rendahnya pendidikan dan produktivitas.
Sebaliknya, kemiskinan menyebabkan anak tidak mendapat makanan bergizi yang cukup sehingga kurang gizi dan seterusnya dan sebagainya

Masalah malnutrisi adalah unik, pemecahannya bukan oleh obat intensif, tetapi interelasi beragam intervensi seperti ekonomi, budaya, pengetahuan, dan prilaku.
Malnutrisi perlu menjadi indikator kemiskinan seperti yang dikemukakan dalam international expert, seminar on child growth and poverty, november 2002 di Jakarta.
Para pemimpin dunia sepakat, proporsi anak balita kurang gizi atau berberat badan rendah merupakan salah satu indikator kemiskinan.

Data empiris dari dunia menunjukkan bahwa program perbaikan gizi dapat dilakukan tanpa harus menunggu rakyat menjadi makmur, tetapi menjadi bagian yang eksplisit dari program pembangunan untuk memakmurkan rakyat.
Trimakasih, Tuhan memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar